Tiga pilar utama ketahanan nasional yakni ketahanan pangan, ketahanan
energi dan ketahanan militer mengalami kerapuhan cukup signifikan. Di
bidang pangan misalnya, impornya terus meningkat baik volume maupun
nilai, seperti impor beras, kedele, jagung bahkan garam. Tiap tahunnya
tidak kurang dari 5,2 miliar dolar AS devisa yang dikuras untuk impor
komoditas pangan tersebut.
Di bidang energi, Indonesia yang dulunya pendiri dan anggota negara-negara pengekspor minyak (OPEC), kini mengimpor minyak dalam jumlah dan harga yang juga terus meningkat. Apalagi kalau terjadi gejolak di negara produsen seperti situasi saat ini di Timur Tengah dan Afrika Utara.
Kerapuhan di bidang ketahanan energi juga ditandai dengan lemahnya manajemen energi mulai dari eksplorasi, eksploitasi, produksi sampai distribusi. Contohnya Riau, penghasil sekitar 60 persen minyak Indonesia dengan dua kilang bahan bakar minyak (BBM) di Dumai dan Sungai Pakning, mengalami kelangkaan BBM sejak pekan lalu. Kelangkaan BBM di Riau ini, ibarat ayam bertelur di lumbung padi yang mati kelaparan.
Sementara kerapuhan ketahanan di bidang militer ditandai dengan dominasi alat utama sistem senjata (alutsista) untuk kebutuhan TNI dan Polri yang juga masih diimpor. Sementara industri pertahanan pelat merah seperti PT. PAL, PT. Pindad dan PTDI mati suri karena kesulitan keuangan dan kalah bersaing dengan produk sejenis buatan luar negeri.
Sebenarnya kita beruntung mempunyai presiden dengan latar belakang pengetahuan yang mumpuni di bidang ketahanan pangan, ketahanan energi dan ketahanan militer. Sebagai doktor di bidang ekonomi pertanian dari IPB, tentunya Presiden Susilo Bambang Yudhoyono memahami problematika pertanian dan petani sebagai tokoh sentralnya.
Demikian pula sebagai mantan Menteri Pertambangan dan Energi, Presiden SBY memiliki kemampuan dan penguasaan masalah di bidang energi. Apalagi masalah militer, SBY yang lulusan terbaik AKABRI Darat tahun 1973 dan oleh pers asing dijuluki sebagai Jenderal Pemikir itu sangat memahani apa dan bagaimana ketahanan militer yang seharusnya dimiliki Indonesia.
Dengan kemampuan intelektual dan pengalaman yang luas di bidang ketahanan nasional, kita tidak meragukan semua kebijakan pemerintah di bawah kepemimpinan Presiden SBY untuk menciptakan ketahanan di bidang pangan, energi dan militer. Sayangnya dalam implementasinya kebijakan tersebut tidak terlaksana sebagaimana mestinya.
Di bidang energi misalnya, sejak Kabinet Indonesia Bersatu (KIB) Jilid I SBY sudah mengeluarkan berbagai kebijakan. Seperti Inpres No. 1/2006 tentang Penyediaan dan Pemanfaatan Bahan Baku Nabati Untuk Biofuel Sebagai Bahan Bakar, Perpres No.5/2006 tentang Kebijakan Energi Nasional dan Inpres No.2/2006 tentang Penyediaan dan Pemanfaatan Batu Bara Yang Dicairkan Sebagai Bahan Bakar Lain serta UU No.30/2007 tentang Energi.
Sementara untuk meningkatkan ketahanan nasional di bidang militer, Presiden SBY telah membentuk Komite Kebijakan Industri Pertahanan (KKIP). Di bidang pangan, kebijakan terbaru adalah Inpres No.5/2011 yang menginstruksikan 15 menteri, BMKG, BPN, Kapolri, Gubernur, Bupati/Walikota seluruh Indonesia untuk melakukan respon cepat atas kondisi pangan nasional.
Sayangnya, berbagai kebijakan Presiden SBY tersebut kurang mendapat dukungan dari aparatur pemerintah, terutama di daerah. Sejak otonomi daerah diberlakukan, terkadang kebijakan pusat memang tidak sinergis dengan kepentingan Pemda.
Untuk mensinergiskan kebijakan pemerintah, baik antara instansi pemerintah di pusat, maupun antara pemerintah pusat dan Pemda, perlu perbaikan komunikasi. Demikian pula halnya untuk mensinergiskan kerjasama antara parpol pendukung SBY, juga perlu perbaikan komunikasi antara Presiden SBY sebagai ketua koalisasi dengan parpol-parpol anggota koalisi.
Di bidang energi, Indonesia yang dulunya pendiri dan anggota negara-negara pengekspor minyak (OPEC), kini mengimpor minyak dalam jumlah dan harga yang juga terus meningkat. Apalagi kalau terjadi gejolak di negara produsen seperti situasi saat ini di Timur Tengah dan Afrika Utara.
Kerapuhan di bidang ketahanan energi juga ditandai dengan lemahnya manajemen energi mulai dari eksplorasi, eksploitasi, produksi sampai distribusi. Contohnya Riau, penghasil sekitar 60 persen minyak Indonesia dengan dua kilang bahan bakar minyak (BBM) di Dumai dan Sungai Pakning, mengalami kelangkaan BBM sejak pekan lalu. Kelangkaan BBM di Riau ini, ibarat ayam bertelur di lumbung padi yang mati kelaparan.
Sementara kerapuhan ketahanan di bidang militer ditandai dengan dominasi alat utama sistem senjata (alutsista) untuk kebutuhan TNI dan Polri yang juga masih diimpor. Sementara industri pertahanan pelat merah seperti PT. PAL, PT. Pindad dan PTDI mati suri karena kesulitan keuangan dan kalah bersaing dengan produk sejenis buatan luar negeri.
Sebenarnya kita beruntung mempunyai presiden dengan latar belakang pengetahuan yang mumpuni di bidang ketahanan pangan, ketahanan energi dan ketahanan militer. Sebagai doktor di bidang ekonomi pertanian dari IPB, tentunya Presiden Susilo Bambang Yudhoyono memahami problematika pertanian dan petani sebagai tokoh sentralnya.
Demikian pula sebagai mantan Menteri Pertambangan dan Energi, Presiden SBY memiliki kemampuan dan penguasaan masalah di bidang energi. Apalagi masalah militer, SBY yang lulusan terbaik AKABRI Darat tahun 1973 dan oleh pers asing dijuluki sebagai Jenderal Pemikir itu sangat memahani apa dan bagaimana ketahanan militer yang seharusnya dimiliki Indonesia.
Dengan kemampuan intelektual dan pengalaman yang luas di bidang ketahanan nasional, kita tidak meragukan semua kebijakan pemerintah di bawah kepemimpinan Presiden SBY untuk menciptakan ketahanan di bidang pangan, energi dan militer. Sayangnya dalam implementasinya kebijakan tersebut tidak terlaksana sebagaimana mestinya.
Di bidang energi misalnya, sejak Kabinet Indonesia Bersatu (KIB) Jilid I SBY sudah mengeluarkan berbagai kebijakan. Seperti Inpres No. 1/2006 tentang Penyediaan dan Pemanfaatan Bahan Baku Nabati Untuk Biofuel Sebagai Bahan Bakar, Perpres No.5/2006 tentang Kebijakan Energi Nasional dan Inpres No.2/2006 tentang Penyediaan dan Pemanfaatan Batu Bara Yang Dicairkan Sebagai Bahan Bakar Lain serta UU No.30/2007 tentang Energi.
Sementara untuk meningkatkan ketahanan nasional di bidang militer, Presiden SBY telah membentuk Komite Kebijakan Industri Pertahanan (KKIP). Di bidang pangan, kebijakan terbaru adalah Inpres No.5/2011 yang menginstruksikan 15 menteri, BMKG, BPN, Kapolri, Gubernur, Bupati/Walikota seluruh Indonesia untuk melakukan respon cepat atas kondisi pangan nasional.
Sayangnya, berbagai kebijakan Presiden SBY tersebut kurang mendapat dukungan dari aparatur pemerintah, terutama di daerah. Sejak otonomi daerah diberlakukan, terkadang kebijakan pusat memang tidak sinergis dengan kepentingan Pemda.
Untuk mensinergiskan kebijakan pemerintah, baik antara instansi pemerintah di pusat, maupun antara pemerintah pusat dan Pemda, perlu perbaikan komunikasi. Demikian pula halnya untuk mensinergiskan kerjasama antara parpol pendukung SBY, juga perlu perbaikan komunikasi antara Presiden SBY sebagai ketua koalisasi dengan parpol-parpol anggota koalisi.
Sumber : http://madina.co.id/index.php/kolom/tajuk/9122-rapuhnya-ketahanan-nasional.html